Cinta, Passion, Cita-Cita, dan Eksplorasi Diri

Cerita Didiet Maulana

Tempo hari, aku dan Nina Nikicio, desainer yang juga founder WifWorld, menyempatkan diri berbincang-bincang secara virtual tentang banyak hal. Diawali dengan bertanya kabar, obrolan mendadak jadi diskusi yang dalam dan mencerahkan; tentang cinta hingga eksplorasi diri.

Aku kenal Nina pertama kali beberapa tahun lalu ketika sama-sama menjadi narasumber di Senayan City. Waktu itu, aku mengaguminya karena passion-nya terhadap dunia fashion. Kalau mau diingat-ingat, terakhir kali akhirnya aku ketemu Nina sudah lama sekali.

Hingga pada Juni 2020 lalu, di tengah pandemi dan ketika sebagian besar orang menghabiskan banyak waktu di rumah karena PSBB, aku dan Nina kembali bertemu. Kali ini, sayangnya, hanya bisa secara virtual. Nina “siaran” dari kamar tidurnya, dan aku dari ruang kerja di rumah—sudut favorit selama karatina. Ini pun awalnya Nina yang mengajak. Obrolan ini akan disiarkan di segmen #WifLove di akun Instagram WifWorld.

Di masa karantina ini, saat semua orang merasakan setidaknya sebutir kecil kesepian, bisa ngobrol-ngobrol seperti ini—meski hanya lewat platform Instagram Live—mujarab sekali untuk bikin hati lebih bahagia dan mood lebih cerah. Itu yang aku rasakan begitu terkoneksi dan akhirnya bisa melihat wajah Nina di layar monitor. Kami langsung sama-sama tersenyum lebar. Semacam batas antara salah tingkah dan excited.

Waktu itu, aku ingat IKAT Indonesia memasuki tiga bulan ditangani dari rumah. Seluruh tim IKAT, termasuk aku sendiri, tidak pergi ke kantor dan memutuskan #wfh untuk berpartisipasi mengurangi jumlah korban Covid-19 yang kini memasuki angka 191.000 kasus positif. Nina juga punya keputusan yang sama: bekerja dari rumah. Di waktu yang sama dengan saat IG Live itu, tim IKAT mulai memberlakukan masuk kantor, tetapi hanya orang-orang tertentu saja dan ada protokol kesehatan yang diberlakukan.

“Jujur, awal pandemi itu rasanya emosional banget, kayak badai tiba-tiba datang. Secara mental, aku nggak siap, semuanya nggak siap. Banyak rencana yang harus di-reset,” tiba-tiba aku cerita panjang lebar ketika Nina bertanya soal kabar.

Pandemi Covid-19 yang merebak sejak Maret 2020 di Indonesia ini memang mengubah banyak rencana. Dalam hidupku, semua rencana itu tidak hanya berubah, tetapi banyak yang dibatalkan. Contohnya, sebetulnya tim IKAT sudah mempersiapkan diri untuk Ramadan, di mana sales IKAT biasanya meningkat tinggi. Namun, tidak terjadi karena pandemi. Lalu, IKAT juga semula akan menggelar fashion show, tetapi akhirnya dibatalkan.

Ada emosi yang tidak bisa dijelaskan, tetapi akhirnya lambat laun, aku pribadi belajar menerima keadaan karena ini pun bukan sesuatu yang aku bisa kontrol. Sebagai gantinya, aku malah belajar cara agar tetap bisa bekerja dengan efektif dan efisien di tengah situasi yang tidak mendukung.

Nina sepertinya juga melalui kondisi yang tidak jauh berbeda. “I think it change the way we do things,” sambut Nina. “Kalau tadinya nggak mikir mau beli barang fashion, sekarang fashion jadi kedua atau ketiga setelah kebutuhan yang lebih penting seperti kesehatan atau pangan terpenuhi.”

Aku setuju, bahkan mengamini. Karena itulah, koleksi yang akhirnya dirilis oleh IKAT Indonesia belakangan ini adalah bentuk penyesuaian dari kebutuhan yang sedang dicari. Misalnya, sekarang highlight IKAT justru aksesori. Seperti, sajadah, special scarf yang didedikasikan untuk tenaga kesehatan, sampai memproduksi konten di Instagram IKAT supaya para pelanggan dan klien tetap punya value dari IKAT.

Sajadah is a really good idea, Mas,” Nina melontarkan pujiannya.

Perihal sajadah itu pun tidak serta-merta datangnya. Aku dan tim selalu mengerjakan semua hal yang konsepnya jelas. Aku mau menyebarkan positivity. Kami ingin bisa mempertanggungjawabkan apa yang kami bikin dan desain. Biar desain bukan malah seragam. Pelan-pelan, kita akan bisa semakin mengasah “how to get a unique perspective”. Aku selalu mengingatkan tim ini: jangan mulai dengan melihat angka, karena itu bakal menyeretmu jatuh. Berpeganglah justru pada passion, karena ini bakal jadi bahan bakar. As long as you have the passion, your vision, it will bring you to the place you want.

Aku bisa lihat Nina mengangguk di seberang sana. “Jadi, nggak sekadar ikut-ikutan, riset dulu, kalau cocok baru diterapkan, ya,” tambah Nina.

 

“People don’t want to waste time to research. Whereas, when you get research, you got strong foundation.” -DM

 

Ketika membuat sesuatu, kita harus memilih pondasi yang kuat. Konsep riset ini tidak menarik dan banyak orang yang melewati tahapan ini karena tidak menarik. Padahal, kalau risetnya telaten, kita akan memiliki tidak hanya pondasi, tetapi juga konsep yang unik, utuh, dan kukuh. Contohnya pohon. Kalau sudah berakar kuat, tidak peduli sebesar apa pohonnya, akarnya akan lebih kuat menopang. Pohon adalah brand. Akar adalah riset dan konsep.

Aku sadar bahwa tak mudah memang untuk menerima keadaan sulit, apalagi pandemi begini. Karena itu, ketika banyak pertanyaan dari teman-teman di sekitar, “Kok loe kayak baik-baik saja di masa pandemi? Bisnis loe oke banget?”, aku tidak heran lagi. Hanya saja, banyak yang tidak tahu kalau aku beserta bisnisku pun ikut juga terpuruk. Bedanya mungkin, aku memilih untuk tidak merasa begitu.

“Karena itu, Mas Didiet bikin online classes, ya?” Nina bertanya.

Aku mengangguk. Kelas online yang diberi nama #JadiGiniBelajarBersama atau disingkat #JGBB ini semacam cara untukku tetap produktif dan tetap bisa berbagi. Aku pikir, ketika kita mengalami sesuatu dan belajar sesuatu, pengalaman itu sebaiknya dibagi kepada orang lain.

Persoalan berbagi ini, sebetulnya aku sudah melakukan ini sebelum pandemi. Bentuknya, workshop untuk para entrepreneur di beberapa kota di Indonesia, terutama UMKM. Karena pandemi tidak memungkinkan aku untuk traveling, #JGBB jadi jalan sementara.

“Aku senang karena banyak orang yang akhirnya belajar dari kelas ini. Dan kalau sudah sukses, jangan lupa bercermin. Di langkah seribu ini, apa intensi kita masih sama dengan ketika langkah pertama.” -DM

“Ada yang tanya, nih, Mas, sebagai desainer yang baru mau memulai, baiknya mengikuti pasar dulu atau idealisme dulu?” Nina sembari mengecek kolom komentar di Instagram Live membacakan satu pertanyaan menarik.

Dengan yakin, aku jawab, “Semua harus imbang dan seimbang.” Namun, yang paling penting dari semuanya itu menurutku, jangan pernah hanya mengejar profitnya saja, tetapi juga kejar passion-nya. Kalau rasanya susah untuk produktif, mungkin halangannya diri sendiri, karena kita tidak percaya diri. Terkadang, kalau kita nggak PD, mungkin karena kita belum siap. Entah secara ilmu, pengetahuan, jaringan, atau apa pun.

 

“The more you talk with yourself, the more you will explore yourself. It will amazing if you realize that yourself can achieved.” -DM

 

“Pernah ada momen kehabisan ide sampai mentok nggak, sih, Mas?” pertanyaan terakhir Nina, yang aku rasa ditanya oleh banyak orang di luar sana. Aku sendiri percaya ketika kita merasa mentok, itu bukan karena kehabisan ide. We just need some rest. Mungkin, kamu butuh nonton drakor dulu kali di Netflix. Hahaha.

Aku kalau lagi stres banget, biasanya ‘kabur’ mengarah ke Ancol buat lari. Atau, kalau nggak lari, main ke pasar seni. Cuma ini waktu sebelum pandemi, ya. Intinya, masing-masing dari kita pasti akhirnya sadar kapan harus berhenti, kapan harus berlari. Pokoknya, jangan memaksakan diri karena bisa-bisa nanti burn out. Kalau sudah burn out, lebih susah memulihkannya, karena biasanya sakit.

Menutup obrolan hari ini, pokoknya buat kamu yang membaca, “Just know when to stop, when to run, ya.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *