Akhirnya, Ubud Writers & Readers Festival 2019!

Didiet Maulana Ubud Writers and Readers Festival 2019 Indonesian Chic session

I’m a Ubud Writers & Readers Festival’s virgin!

Untuk para penulis, sastrawan, praktisi penerbitan, sampai pencinta literasi, Ubud Writers & Readers Festival adalah sebuah acara besar yang patut dirayakan megah-megahan tiap tahun.

UWRF adalah acara prestisius, tak usah diragukan lagi. Ini semacam perayaan karya tulis terbesar di Indonesia. Tiap tahun, selama hampir seminggu, biasanya ada ratusan penulis, seniman, hingga performer kenamaan dari seluruh dunia datang ke Ubud untuk bertukar ilmu, berbagi pengetahuan, bertegur sapa, atau sekadar berkenalan di dunia nyata. Kebetulan, di tahun 2019, aku termasuk salah satu yang diundang sebagai panelis. Panelis lain asal Indonesia yang turut diundang, antara lain Seno Gumira Ajidarma, Laksmi Pamuntjak, Richard Oh, Leila S. Chudori, Yusi Avianto Pareanom, hingga Garin Nugroho—nama-nama penulis besar yang melegenda.

Didiet Maulana Ubud Writers and Readers Festival 2019 Theme Karma

Aku diundang oleh pihak UWRF untuk merayakan “Karma”, tema festival tahun lalu (23-27 Oktober 2019). Di antara sekitar 170 lebih program, aku terlibat dalam tiga di antaranya. Sebagai first timer, aku sesungguhnya deg-degan minta ampun. Tambah lebih berdebar lagi karena baru pertama kali dan langsung menjadi panelis alias pembicara. Aku datang sebagai desainer fesyen yang (dituliskan dalam booklet) adalah orang yang mendedikasikan diri untuk wastra Nusantara (well, betul, sih!). Woah, hatiku hampir meledak terutama karena gugup setengahnya, dan sisanya excitement.

Beberapa waktu sebelum UWRF 2019 ini digelar, aku sempat bertemu dengan Ibu Janet de Neefe di London. Waktu itu, aku ikut terlibat dalam London Book Fair mewakili Indonesia, bersama beberapa penerbit, penulis, dan sastrawan Nusantara. Senang betul karena setelahnya bisa bertemu lagi dengan Ibu Janet di festival yang ia gagas.

Baru kali ini bagiku, ke Bali tapi tak banyak menghabiskan waktu untuk eksplorasi. Tidak menghabiskan untuk menikmati pagi di tengah sawah, dan mengejar senja di atas bukit. Tentu saja tak enak hatiku untuk jalan-jalan karena berpikir lebih baik mempersiapkan diri, secara mental dan materi, untuk sesi-sesi yang bakal aku isi. Sedari Jakarta juga sudah kugadang-gadang diri untuk menghabiskan waktu di Ubud kali ini untuk banyak-banyak berbagi sekaligus belajar. Mumpung banyak orang hebat di festival.

Hanya, mau sesibuk apa pun hari-hari, ketika di Ubud, waktu memang seperti melambat. Meski terasa banyak hal yang harus dilakukan, tiap pagi pasti ada waktu untuk menikmati sinar matahari pertama yang menelusup dari jendela dan suara burung yang terdengar dekat.

Setelah gala opening festival di hari pertama, aku langsung dihadapkan pada sesi pertama yang cukup bikin wajahku pias seharian: Pecha Kucha Night Ubud 42 (24 Oktober 2019). Kalau ada yang belum familier dengan Pecha Kucha, ini adalah sebuah acara yang memperbolehkan tiap panelis untuk presentasi sebanyak 20 slide yang tiap slide hanya diberi waktu 20 detik. Batasan waktu ini yang jujur bikinku kejur.

Acara ini digelar mulai 18.00-20.00 di Betelnut Ubud. Karena digelar malam, sejak pagi aku tak ingin ke mana-mana. Tetap di hotel dan bersiap-siap. Aku ingat ketika menuju tempat acara, detak jantungku berdebar tak keruan. Coba tanya orang-orang yang kutemui hari itu, wajahku pucat pasi tak bisa ditutup-tutupi. Sebegitu groginya aku. Apalagi, bertemu dengan panelis lain dari berbagai negara ketika di Betelnut. Ada Richard Fidler Sang Pengarang buku laris “Ghost Empire”; Resa Boenard si waste expert dan social entrepreneur; Saras Dewi si aktivis, akademisi, juga penyair; Karoline Kan Sang Jurnalis; juga Jorge Franco si praktisi film.

Aku selalu menyempatkan diri untuk datang lebih awal, terutama di acara yang melibatkan public speaking atau presentasi. Utamanya karena ingin mengetahui medan, alasan lainnya bercampur antara aku memang suka bersiap, juga ini caraku menenangkan diri. Maka, ketika tiba di Betelnut dan masih kosong, aku justru senang. Ada perasaan damai saat melihat tempat yang semula kosong jadi terisi penuh.

Malam itu, aku presentasi dengan tema Weaving the Culture. Well, tidak bisa kupungkiri, itu adalah 6 menit dan 40 detik terlama dalam hidupku. Hanya saja, aku melakukan apa yang kucintai—memperkenalkan budaya Indonesia dan karya-karyaku sendiri kepada publik yang sebagian besar mungkin asing pada apa yang aku lakukan. Bahkan, sempat menceritakan kerja samaku dengan hingga 300 penenun di Indonesia.

Di awal sesi, aku merasa keringat mengucur deras di titik-titik tertentu. Untunglah, itu hanya berlangsung di menit-menit pertama. Tak lama, kupikir aku sudah bisa ia memulihkan wajah pucatku. Setidaknya, audiens yang berasal dari beragam usia dan latar belakang itu mendukung dan merespons dengan baik sesiku.

Di akhir hari, ketika Pecha Kucha sudah selesai dengan lancar, aku lega. Lebih bahagia lagi, setelah tahu bahwa pesannya sampai dengan baik ke audiens. One done, two more to go.

Esoknya, 25 Oktober 2019, di sore hari adalah sesi Sartorial Art for Impact digelar di Neka Art Museum, Ubud. Sesi ini khusus membahas tentang segala hal yang para panelis, termasuk aku, lakukan, serta impact-nya terhadap ke ranah sosial. Dilanjutkan dengan sesi terakhir, yaitu Festival Club, pada malam hari di Casa Luna Ubud. Khusus sesi ini, aku ngobrol bareng secara kasual dengan Filisya Thunggawan (Editor-in-Chief Cosmopolitan Indonesia) tentang “Indonesian Chic”. Intinya, tentang busana-busana tradisional Indonesia yang tetap menarik meski digunakan di zaman modern.

Didiet Maulana Ubud Writers and Readers Festival 2019 Indonesian Chic session

Aku ingat waktu itu membawa kebaya kutubaru klasik milik Eyang Putri dengan bawahan kain tenun ikat untuk dipamerkan di sepanjang acara. Sementara, aku sendiri mengenakan atasan linen hitam dengan bawahan kain tenun ikat dan ikat pinggang juga kain tenun ikat.

Malam terakhir di sesi terakhir ini membuat aku sekali lagi menyadari bahwa betapa beruntungnya aku. Berkesempatan untuk berpartisipasi di UWRF 2019 ini; bertemu banyak seniman, pelukis, penerbit, pengarang, artis dari berbagai belahan dunia; menimba ilmu baru dan memperkaya sudut pandang; bertukar ide hingga memicu daya kreasi untuk menciptakan sesuatu yang baru… ah, pengalaman ini tak bakal kulupa. Semakin senang karena semua sesi yang melibatkanku sebagai panelis, berjalan dengan lancar, dan semua pertanyaan terjawab.

Di salah satu sesi, aku sempat pula memperkenalkan buku pertamaku tentang kebaya berjudul Kisah Kebaya yang kususun bersama tim hebat. Aku berbagi pengalaman mulai dari membaca banyak literatur, memperdalam riset kebaya ke berbagai daerah Indonesia, hingga membagikan pengalaman pribadi berjuang untuk tetap komitmen melestarikan wastra Nusantara. Mestinya buku ini terbit tahun ini, tetapi dengan sadar aku merasa peluncuran buku diundur hingga pandemi mereda. Sebetulnya tak sabar, tapi kurasa sebaiknya menunggu.

Sebelum kembali ke Jakarta, aku menyempatkan diri menjelajah ke sudut-sudut Ubud favoritku. Sejak pagi, aku main ke Pasar Tradisional Ubud, mencari-cari apa yang baru, memotret sana-sini, dan tentu saja berbelanja. Mulai dari kerajinan tangan anyaman, ukiran, lukisan, hingga pakaian, ada di pasar ini. Kubeli satu buah topi anyaman untuk langsung kukenakan.

Kebetulan, matahari pagi itu hangat sekali. Ia bersemburat dari sela-sela atap lapak-lapak penjual. Berjalan kaki dengan tenang di gang-gang kecil pasar ini salah satu kegiatan favoritku jika ke Ubud. Tak hanya bisa melihat para seniman melukis langsung di atas kanvas putih, mendengarkan penjual alat musik memainkan beberapa instrumen untuk menyegarkan hari, hingga bercanda sembari tawar-menawar harga dengan para penjual. Hari itu, bahkan aku punya kawan baru; ibu Suweni, salah seorang ibu pedagang yang mengajakku mampir ke rumahnya tepat di belakang lapak.

Didiet Maulana Pasar Tradisional Ubud UWRF 2019 Nikon Indonesia

Rumah Ibu Suweni ternyata adalah rumah tradisional Bali lengkap dengan bale-bale, pura kecil, gapura, yang penuh ukiran dan ornamen. Ibu Suweni sehari-hari masih mengenakan kebaya tradisional lengkap dengan kain Bali sebagai bawahan. Aku terkesima dibuatnya, walaupun tak heran juga karena perempuan-perempuan Bali masih banyak yang setia pada busana daerahnya.

Aku sempat diajak makan siang bersama dan minum teh, tapi sayang, karena waktu mendesak, aku tak bisa berlama-lama. Terkadang Tuhan menyentuhmu dan memelukmu lewat orang-orang di sekitarmu yang tak kamu duga-duga. Itulah yang Ubud berikan sore itu padaku, tepat sebelum aku kembali ke Ibukota.

Waktu di Ubud kali itu memang tak terlalu lama, tapi tiap detiknya bermakna. Terima kasih, Ibu Janet dan tim UWRF atas kesempatannya. Dan, untuk Ubud, semoga segera berjumpa lagi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *