Perjalananku ke Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, pada 2018, ternyata jadi salah satu kelana terfavorit yang pernah kulakukan. Mulai dari menjelajahi keindahan lanskap Sumba Timur, sampai mendalami kisah motif-motif pada kain tenun ikat Sumba.
Setelah terbang berjam-jam lamanya, akhirnya aku tiba di Waingapu, Sumba Timur. Bukan bandara paling mewah sedunia, tetapi Umbu Mehang Kunda seperti berbau-bau petualangan seru dan ketidakpastian yang menyenangkan. Waingapu sendiri adalah kota terbesar di Pulau Sumba dan ibukota dari Sumba Timur. Dibandingkan dengan wilayah lain di seluruh pulau, Waingapu bisa dibilang adalah kota paling ramai dan hidup secara infrastruktur juga pariwisata.
Ini pertama kalinya aku menjejakkan kaki di Sumba. Aku memulai perjalanan dengan menyaksikan waktu bergerak pelan di hadapan bukit-bukit yang berlapis-lapis di Bukit Tanarara. Kala itu, musim sedang hijau. Jadi, seluruh permukaan bukit itu berwarna rindang dan teduh. Tak peduli jika langit terlalu cerah dan matahari terlalu terik, angin yang siup dan rumput yang rimba membuat hari lebih teduh.
Tanarara adalah contoh paling tepat untuk kontur dan topografi keindahan bukit-bukit di Sumba, terutama Sumba Timur. Ia adalah tempat paling tepat untuk menyambut matahari terbit dan terbenam. Ia bisa keduanya. Meski agak jauh dari pusat kota, Tanarara adalah bukit yang layak diperjuangkan. Bayangkan, duduk di perbukitan di atas rumput tebal, dan lapis-lapis bukit sejauh mata memandang. Aku menghabiskan waktu sunrise di bukit ini, menikmati langit berubah dari gelap ke terang, dari hitam ke semburat keemasan, lalu biru. Bukankah ini cara yang paling pas untuk memulai hari di Sumba?
Sumba itu ternyata aneh. Ini kali pertama ke sini, tapi sepanjang waktu, semua terasa akrab, terasa seperti rumah. Dari jendela mobil yang melaju kulihat lanskap yang berubah-ubah, dari perbukitan hijau, padang rumput tempat kuda-kuda Sumba berlarian bebas, tepian pantai yang berpasir putih bersih, hingga akhirnya turun dari mobil dan tiba di kampung adat dengan rumah-rumah kayu yang beratap alang-alang dan berbentuk panggung.
Iya, dari Tanarara, aku singgah di salah satu kampung adat terkenal di Sumba Timur; Kampung Rende. Dari jalanan aspal, aku sempat masuk ke jalan bertanah merah yang mengecil sebelum akhirnya melihat rumah-rumah kayu tadi yang disebut Uma Humba. Di halaman kampung, ada batu-batu berukuran besar bertumpuk-tumpuk yang setelahnya diketahui sebagai makam-makam para raja.
Di Rende, masyarakat lokal beberapa masih mengenakan kain tenun ikat sebagai bawahan sehari-hari. Aku lihat mereka lalu-lalang sibuk dengan kegiatan masing-masing; menjemur jagung, menyuapi anak, hingga ada beberapa ina (atau mama) terlihat menenun di bale rumah mereka.
Aku merasa tak ingin mengganggu, tapi ingin sekali mengenal mereka lebih dekat. Maka, kuucapkan salam, kudekati mereka dan ikut duduk di bale bersama mereka, dan berbincang-bincang. Mereka memang bukan pengguna bahasa Indonesia paling lancar seantero Nusantara, tetapi keramahan mereka tak ada duanya.
Kalian tahu sendiri, aku selalu senang menggali tentang segala hal yang berkaitan dengan wastra Nusantara. Dan, kain tenun ikat Sumba adalah salah satu wastra paling indah yang Indonesia miliki. Aku memandang kagum para ina yang menenun telaten di bale rumah. Aku tambah kagum melihat kain-kain tenun ikat yang sudah rampung dengan beragam motif dan pewarna alami bergantungan tergoyang angin di jemuran. Warna biru dari daun nila, warna merah dari akar mengkudu.
Di bale rumah Kampung Rende, aku disambut tak hanya dengan kopi hitam dan sirih pinang, tapi juga percakapan hangat dari mama-mama. Mereka bicara tentang hari-hari di kampung, tentang babi-babi di bawah rumah panggung, tentang anjing-anjing peliharaan yang berkeliaran, sampai tentang arti motif-motif pada kain tenun ikat yang mereka ciptakan. Ada kurangu, ana tau, wuya, andungu, dan lain-lain. Ada motif manusia, buaya, kura-kura, ayam, dan banyak lagi. Semua punya artinya sendiri. Seperti, udang adalah simbol persatuan; kura-kura simbol keagungan atau kebangsawanan; atau ayam artinya kejantanan.
Di awal tiap perjalanan, kita selalu dihadapkan pada rasa takut. Takut karena akan pergi ke tempat yang tak kita ketahui. Takut karena akan bertemu orang-orang yang tak kita kenal. Takut karena akan mencoba hal-hal baru yang tak kita pahami. Takut sakit. Namun, di akhir perjalanan selalu sama, bahwa kita akan menemukan diri kita kembali, mengetahui lebih dalam tentang diri kita sendiri. Sumba membuatku merasakan itu semua.
Tak jauh dari kampung, aku beranjak ke salah satu sungai berair jernih di Waingapu. Sungai Hibudundu, namanya. Aku duduk di tepi sungai di bawah pohon rindang sembari menuangkan inspirasi yang kutemui dalam jurnal yang selalu kubawa ke mana-mana. Suara kecipak air terdengar di kejauhan akibat anak-anak sedang memandikan kuda-kuda mereka di sungai. Ringkikan kuda pun samar kutangkap, entah si kuda itu senang atau tak senang. Tapi kuingat-ingat lagi, betapa damai waktu itu.
Esok harinya, aku menghabiskan hari menikmati padang savana luas bernama Purukambera yang terkenal. Di bulan-bulan September, biasanya banyak bunga konjil alias Sakura Sumba yang mekar di sekitar padang. Namun, kala itu, savana itu hanya memanjakan mata dengan dominasi hijau segar yang teduh, di sela cuaca terik Sumba yang membakar tengkuk. Baiknya memang Purukambera dikunjungi sangat pagi atau jelang petang, ketika matahari sedang tak ngotot.
Dari Purukambera, aku datang ke salah satu kampung adat yang juga terkenal di Sumba Timur; Prailiu. Ia adalah kampungnya para raja. Mama Ratu Rambu Margaretha (atau Mama Etha), istri raja, biasa menyambut kita jika datang ke Prailiu. Sang raja, Umbu Djaka, sendiri telah meninggal pada 2008, dan hingga kini belum ada penggantinya.
Tak jauh beda dengan Rende, Prailiu juga adalah kampung adat berisi rumah-rumah tradisional Sumba yang masih gagah berdiri. Di bale-bale rumah, banyak kain tenun ikat yang digantung dan dijual memang khusus untuk turis yang datang. Tak hanya kain hinggi (bawahan laki-laki) dan lau (untuk perempuan), kain tenun ikat Sumba Timur juga dijual dalam bentuk lebih kecil, seperti selendang sampai bandana.
Di luar kain, ada pula dijual mamuli, perhiasan berupa kalung untuk perempuan dari manik-manik yang didominasi warna jingga dengan bandul berbentuk mamuli (mengingatkan kita pada vagina). Jika seorang perempuan mengenakan kalung ini tanpa bandul, tandanya ia belum menikah. Jika dengan bandul mamuli, berarti ia sudah menikah. Mamuli juga biasa digambar sebagai motif kain tenun ikat. Ia memiliki arti tersendiri, simbol kesuburan.
Dari perjalanan ini, aku baru menyadari bahwa tak habis-habisnya Sumba Timur mengejutkanku—dalam artian yang baik. Aku sempatkan diri ke pantai di mana terkenal ada pohon bakau yang menari—karena bentuknya meliuk-liuk. Pantai Walakiri. Senja di pantai ini sungguh magis, apalagi jika ditemani kelapa muda dan obrolan hangat dengan sesama.
Senja lain yang tak bisa kulupa adalah senja di Wairinding. Angin selalu bertiup lebih kencang jika sore tiba. Mirip dengan Tanarara, di sini, aku duduk menghadap bukit berlapis-lapis yang memikat hati. Kusaksikan permukaan bukit berubah warna dari hijau menjadi keemasan. Aku juga menyaksikan langit berubah warna dari biru cerah menjadi jingga kemerahan. Namun, karena luar biasa terkenal, tempat ini selalu ramai. Biar bagaimana, kurasa tak ada salahnya menikmati momen indah ini bersama banyak orang.
Isn’t happiness only truly real when shared?