Lasem yang Kupanggil Rumah

Selalu ada perasaan hangat tiap kali menjejakkan kaki ke Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Aku menyebutnya pulang, karena Lasem sudah kuanggap seperti rumah.

Aku pertama kali mengenal Lasem dari artikel yang terbit di Majalah National Geographic Indonesia. Waktu itu, tulisan tersebut ditulis oleh Agni Malagina, seorang perempuan sinolog yang kemudian menggagas gerakan cinta Lasem bernama Kesengsem Lasem. Aku langsung mengontak Agni via e-mail, hingga tak lama kemudian, bisa saling temu langsung di Lasem. Itu sekitar tahun 2015. Hingga kini, Lasem tidak pernah pergi dari hati. Keinginanku selalu besar untuk kembali ke Lasem tiap tahun—bahkan, setahun bisa tiga kali. Ya, selaiknya pulang kampung.

Lasem adalah sebuah kota pesisir di Jawa Tengah yang dikenal dengan nama Tiongkok Kecil. Nama lainnya banyak, mulai dari Kota Santri, Kota Pusaka, hingga Kota Batik. Untuk yang terakhir itulah yang membuatku sah tidak bisa berpaling. Lasem memegang peranan penting untuk sejarah Batik Tiga Negeri, jenis kain yang pembuatannya “melanglang buana” di antara tiga kota: Lasem, Pekalongan, dan Surakarta. Lazimnya, pembuatan sehelai kain Batik Tiga Negeri yang ditulis tangan ini memakan waktu hingga 8 bulan untuk proses penyelesaiannya.

Didiet Maulana Rumah Batik Nyah Kiok Lasem 2

Tidak cuma menikmati hasil jadi kain batik Lasem, aku juga belajar banyak tentang apa artinya sebuah proses dari para pembatik Lasem di berbagai rumah batik legendaris di Lasem. Sebut saja, Rumah Batik Maranatha, Rumah Batik Nyah Kiok, Rumah Batik Kidang Mas, Rumah Batik Sekar Kencana, Rumah Batik Lumintu, Rumah Batik Pusaka Beruang, dan banyak lagi.

 

Bahwa semua yang indah itu mestilah melalui rangkaian proses panjang dan dikerjakan dengan sepenuh hati. Bahwa tidak semua yang indah itu seinstan menggunakan filter di aplikasi kamera ataupun segampang teknologi yang saat ini semuanya terdisrupsi.

 

Helai-helai kain Lasem juga mengajarkanku tentang hidup. Bahwa ada bagian-bagian hidup yang harus dihadapi secara manual, belum terjamah auto pilot aplikasi mana pun. Kedewasaan berpikir belum bisa terpenuhi hanya dari membaca buku dan menonton tayangan online di kanal TV. Proses hidup harus dijalani sehingga bisa tersenyum ketika tidak punya apa-apa, dan bisa hidup cukup ketika berpunya.

Sudah aku sebutkan sebelumnya, aku bisa (minimal) setahun tiga kali “pulang kampung” ke Lasem. Sowan ke banyak orang yang kini sudah terasa seperti saudara adalah hal yang paling kutunggu-tunggu. Termasuk, bertemu dengan para pembatik memiliki kesukaan yang sama, yaitu batik. Tiap kali mampir main melihat mereka membatik, senyum sapa ramah mereka menyambut bersama bau malam yang entah bagaimana terasa penuh nostalgia. Alhasil, semua lelah dan galau hilang seketika.

Batik tulis Lasem Rumah Batik Nyah Kiok 3 - Didiet Maulana

Rumah Batik Nyah Kiok, yang secara konsisten hanya membuat satu jenis batik dengan motif Gunung Ringgit Pring (artinya “rezeki yang menggunung”), adalah salah satu rumah yang wajib kukunjungi. Bertemu 7 Bidadari tentu saja adalah jadwal utama tiap kali ke sana. Tujuh bidadari adalah nama panggilan untuk ketujuh perempuan perajin yang sudah mendedikasikan diri membatik satu motif yang sama selama puluhan tahun.

Adalah sebuah kesempatan istimewa bisa mengenal para pembatik yang hebat-hebat ini. Aku selalu senang bisa melihat mereka bekerja dan bercerita lewat helai-helai kain batik tulis Lasem dan motif-motifnya. Warna merah pada batik Lasem disebut “blangko”, merupakan jenis merah yang dalam Batik Tiga Negeri disebut Merah Lasem atau Merah Getih Pithik (warna merah darah ayam).

Batik tulis Lasem Rumah Batik Nyah Kiok - Didiet Maulana

Tak hanya kain batik tulis, aku juga jatuh cinta tiap kali melihat kebaya Njonja Oei. Njonja Oei membuat perhiasan bros peniti susun tiga dengan hiasan foto keluarganya. Bros atau peniti susun tiga menjadi salah satu aksesori yang kerap digunakan oleh perempuan Tiongkok dan Peranakan untuk pelengkap memakai kebayanya.

Karena pandemi, tahun ini agak berbeda. Aku tidak bisa berangkat ke Lasem dan melepas kangen pada ia yang sudah kupanggil rumah, pada orang-orang yang sudah kuanggap keluarga. Aku mesti bersabar dan menunggu pandemi reda. Namun begitu, tak berhenti di situ.

Di era pagebluk, semua orang berjuang untuk bisa bertahan. Termasuk para pembatik yang banyak dirumahkan dan tak bisa menghasilkan uang. Tak bakal panjang-lebar, aku dan teman-teman Kesengsem Lasem membangun pasar rakyat berisi produk-produk khas Lasem. Ini tautannya: Pasar Rakyat Lasem.

Pembatik dan batik tulis Lasem - Didiet Maulana

Barang-barang di pasar rakyat Lasem ini seluruhnya dibuat oleh para pengusaha lokal Lasem yang terdampak keras oleh pandemi. Harapannya, di luar agar pandemi ini segera berakhir, juga agar pasar rakyat ini bisa membantu bisnis lokal orang-orang Lasem tetap berjalan.

Ah, Lasem, kau yang dirindu yang tinggal di pikiran. Tak bakal hanya tentang batik, lain kali jika akhirnya bisa mudik ke Lasem, akan kunikmati tiap rekomendasi kuliner di sana, tiap jejak langkah di atas pasir pantai kecoklatan di pantai-pantai Lasem, klenteng-klenteng berusia berabad-abad lamanya, sampai bukit-bukit yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *