Di waktu libur Natal 2017 dan Tahun Baru 2018, aku berangkat ke New York sendirian. Semula kupikir akan kesepian, tetapi aku justru menemukan diri sendiri dan kedamaian.
Berhubung Januari adalah bulan kelahiran, maka seolah jadi tradisi bagiku untuk meluangkan waktu istirahat dari pekerjaan, lalu traveling sebagai bentuk perayaan. Dua tahun lalu, destinasi yang aku pilih adalah New York. Tak ada alasan yang berarti, hanya saja NY selalu punya tempat di hati. Ini bukan yang pertama kali aku menjelajah skena kota (cityscape) New York, tapi yang namanya perjalanan, pasti selalu ada cerita yang berbeda meski destinasinya sama.
View this post on Instagram
Seperti kali ini, sebelum akhirnya menghabiskan waktu tiga minggu di New York, berpindah-pindah dari Brooklyn, Manhattan, hingga ke Upper East Side untuk merasakan suasana yang berbeda-beda, drama sudah dimulai sejak dari Cengkareng.
Aku tak menyangka mengalami nasib setengah nahas setengah sial di perjalanan. Semestinya, aku sudah bisa menduga-duga kalau awalannya apes, buntutnya bakal minimal kesal. Sejak di Soetta, penerbangan Jakarta-Singapura yang sengaja kuambil di jadwal penerbangan terakhir, mengalami keterlambatan. Celakanya, jika pesawat ini terlambat, aku tiba di Singapura juga telat. Artinya, pesawat lanjutanku Singapura-NY barang tentu tak terkejar. Benar saja, Singapore Airlines (SQ) rute New York yang semestinya membawaku juga, sudah keburu terbang tanpaku.
Sebetulnya, aku tak panik, tapi ada perasaan “yaaahhhh” yang susah untuk dijelaskan. Dhitya adalah orang yang habis kucurhati sepanjang drama ini berlangsung.
Perkara ketinggalan pesawat ke NY ini, perihnya hanya sedikit saja. Apalagi, SQ dengan sigap memberi opsi untuk menggantikan keterlambatan. Dalam hatiku, aku mau yang paling cepat sampai NY. Karena itu, aku memilih penerbangan keesokan paginya ke Singapura-Los Angeles dilanjutkan penerbangan lokal Los Angeles-New York.
View this post on Instagram
Well, así es la vida. Life is full of unpredictable events.
Aku mengingat rentetan peristiwa-peristiwa itu dengan terbahak. Aku yang biasanya perfeksionis, tak ingin apa pun keluar dari skedul, kali itu menghadapi drama penerbangan dengan lebih tenang. Begitu pun ketika akhirnya tiba di New York yang memasuki musim dingin dan seorang petugas bandara memberitahu kalau koperku tertinggal di Singapura. Tak ada yang bisa kulakukan selain terbahak-bahak dalam hati, sembari memikirkan, “Hm, besok pake baju apa, nih? Di bandara NY nggak ada toko pakaian pula.” Kutengok tas kabin yang—untungnya—isinya ada beberapa baju hangat. Dan, watak Jawa-ku yang nrimo seketika membatin, “Untunglah, masih ada baju hangat.” Aku baru tahu setelahnya kalau bagasiku baru kembali ke tanganku tiga hari kemudian. Aku menerimanya tepat di Hari Natal.
I wanna wake up in a city that doesn’t sleep
And find I’m king of the hill top of the heap
These little town blues are melting away
I’ll make a brand new start of it in old New York
“Theme From New York, New York” – Frank Sinatra
Aku terbangun di musim dingin NY di apartemen di kawasan Brooklyn untuk beberapa hari pertama perjalanan. Selama di NY, total aku tiga kali berpindah penginapan karena berpindah di tiga kawasan. Tak ada itinerary yang terlalu ambisius selama di NY. Itulah keunggulan solo traveling.
View this post on Instagram
Selama di Brooklyn, aku hobi bolak-balik ke flea market setempat, memburu barang-barang vintage yang unik. Di sepanjang jalan, lampu-lampu, ornamen-ornamen, serta pohon-pohon cemara nan tinggi sudah mulai menghiasi kota. Pertanda, Natal sudah dekat. Aku yang menghabiskan banyak waktu berjalan kaki di penjuru kota, menikmati udara dingin yang bisa turun hingga 4 derajat Celcius dengan hati yang hangat.
Ah, setelah tiga tahun, aku akhirnya bisa kembali lagi ke New York, batinku. Brooklyn masih seperti yang kuingat. Suasananya hangat, meski winter. Di Brooklyn, aku banyak menghabiskan waktu singgah di beberapa tempat favoritku, seperti Metropolitan Museum of Art, Broadway Theater, hingga Macy’s yang jika di malam hari, lampu-lampunya berkerlap-kerlip dan display window-nya terlihat fenomenal. Kegembiraan liburan dan kemeriahan Natal seperti sudah menguar-nguar di udara.
View this post on Instagram
Aku ingat perjalanan ke NY adalah momen di mana aku mulai mengenal plant-based eating patterns. Aku mulai mencoba plant-based menu bahkan ketika di sana. satu hal yang mencerahkan waktu itu adalah bahwa ternyata makanan plant-based bisa juga super enak. Hari-hari berburu makanan sehat nan lezat di New York pun kusisipkan di sela-sela agenda sehari-hari yang tak terlalu rigid itu, seperti Fermento. Namun, kalau boleh jujur, setelah kupikir-pikir lagi, selama di NY, aku ternyata hampir 80%-nya makan makanan Asia.
Dari Brooklyn, aku pindah ke kawasan Manhattan untuk merayakan Tahun Baru. Alasan utama karena ingin lebih dekat dengan Times Square. Seperti yang seluruh dunia tahu, Times Square ketika Malam Tahun Baru selalu meriah.
Tak hanya tradisi Ball Drop yang dilakukan tiap tahun di New Year’s Eve atau pohon cemara raksasa yang penuh ornamen Natal, tapi juga ada berbagai pertunjukan dari beragam artis di atas panggung.
Aku memang tak mengkhususkan niat datang dan bergabung dengan ratusan orang untuk merayakan NYE di Times Square, tapi senang juga bisa sesekali melintas di tempat itu dan melihat sendiri betapa magical-nya suasana malam itu. Beberapa hari setelah tahun baru, ketika masih berada di area Manhattan Midtown, aku masih suka melintasi wilayah tersebut hanya untuk memandangi pohon Natal itu.
Hari-hariku di Manhattan banyak kuhabiskan dengan berkelindan dari satu jazz café ke jazz café yang lain. Aku bahkan secara mendadak bertemu kawanku seorang musisi jazz asal Jepang, Monday Michiru, yang mengundangku mampir ke rumahnya untuk pre-NY dinner. Rumahnya ada di tepian kota; tenang nan asri. Seingatku, ini baru pertama kalinya aku datang ke rumahnya, merasakan pengalaman makan malam di mana si empunya rumah memasak dari nol. Sebuah makan malam yang hangat, karena hanya ada sekitar tujuh orang yang datang malam itu.
Di Malam Tahun Baru, aku janji bersua dengan beberapa kawan yang tinggal di NY, untuk sekadar makan malam bersama dan menikmati hot chocolate terenak seumur hidupku. Meski Natal sudah lewat, tapi malam itu, aku ingat lagu-lagu Natal masih terdengar di mana-mana. Tepat sebelum tengah malam, hujan salju mulai menderas. Malam Natal kali itu betul-betul seperti yang pernah kusaksikan di film-film Hollywood.
Aku dan kawanku singgah di Magnolia Bakery New York setelah makan malam. Toko yang terkenal karena cupcakes-nya ini semakin populer karena Sex and the City. Cupcakes-nya enak banget! Dan beruntungnya, kami waktu itu bisa mendapat tempat duduk di depan jendela besar yang menghadap jalan. Sepanjang menikmati desert itu, kami melihat banyak orang hilir-mudik. Anehnya, kami tak begitu banyak ngobrol. Kami hanya merasa sama-sama senang karena bisa saling menemani. Kami sibuk menikmati apa yang kami rasakan sembari memandang salju dari kaca jendela.
Menjelang pukul 00.00, memasuki tahun 2018, aku malah sudah kembali ke hotel dan menyaksikan keriuhan countdown di Times Square dan keramaian kota dari jendela kamar.
Aku siapkan segelas sampanye untuk diriku sendiri dan menyadari sesuatu:
“…bahwa sendiri itu menyenangkan juga. Tidak harus bersama orang lain untuk bisa berbahagia. Mungkin, ini waktuku untuk menikmati kebersamaan dengan diri sendiri.”
Hari-hari di NY setelah Tahun Baru kumanfaatkan dengan banyak mengunjungi museum, menikmati happy hours dengan sajian oyster murah seharga US$1 di Mermaid Oyster Bar, sampai menikmati banyak sekali makanan Asia, mulai dari makanan Jepang di Ippudo Westside, sampai restoran Vietnam di Manhattan.
Selepas Tahun Baru, ketika teman-teman banyak yang sudah kembali ke kotanya masing-masing (kebanyakan tinggal di area suburban), aku mulai menikmati NY sendirian. Pagi-pagi benar, meski suhu bisa mencapai 2 derajat C, aku menyempatkan diri olahraga lari hingga ke Central Park.
View this post on Instagram
Dengan segala drama di awal perjalanan, aku kerapkali mengingat kesulitan yang kurasakan dengan hati lapang. Entah apakah ini efek tahun yang baru, ataukah memang akhirnya bisa lebih dewasa, tetapi aku merasa masalah-masalah di sepanjang jalan itu pada akhirnya jadi cara agar aku mengenal diri sendiri dan berlatih mengatasi masalah. Serunya juga bisa mengubah perspektif tentang traveling sendirian.
I don’t need any approval from anyone else for my own happiness.
Menutup cerita tentang New York, kota ini sungguh berkarakter. Tiap kawasannya, memiliki karakter yang berlainan. Seperti Brooklyn, kota ini lebih down to earth, hangat, dan sesungguhnya paling merepresentasikan diriku. Sementara Manhattan menyimpan banyak sekali touristy spot dan museum. Lalu, Upper East Side adalah kawasan high end dan lebih banyak galeri—tonton saja serial Gossip Girl.
Siapa sangka, perjalanan penuh drama yang tadinya aku bakal merasa sendirian dan stres, berujung dengan perjalanan menyenangkan. Aku memang kehilangan sesuatu, tapi ternyata aku menemukan diri sendiri.
View this post on Instagram
Where to Go to
EAT
Corner Grind, Smalls Jazz Club, Saigon Shack, Ferninando’s Focacceria, Murray’s Cheese, Pure Thai Cookhouse, Tacombi, Chelsea Market, Black Barn, Lucien, Tre Otto, Congee Village, Dominique Ansel Kitchen.
HOBBIES
Hamlets Vintage
Thrift Store, Second Hand
Mcnally Jackson Books