Bagi banyak orang, Tanimbar artinya pantai-pantai berpasir putih tak terjamah yang memesona. Atau, titik-titik terindah penyelaman (diving). Atau, kemegahan Patung Kristus Raja ala Christ the Redeemer di Rio de Janeiro, Brazil. Tidak apa, karena memang Tanimbar adalah sebuah kepulauan di timur Indonesia nan indah lagi hangat. Namun, bagi saya agak berbeda. Tanimbar adalah masyarakatnya yang tak mudah padam, para perajin kain tenun yang tak berhenti melestarikan wastra lokal, juga seniman-seniman yang terus belajar.
Kepulauan Tanimbar, yang terdiri dari beberapa pulau besar seperti Yamdena, Larat, Selaru, Sera, dan lain-lain, adalah sebuah wilayah kepulauan yang secara resmi masuk dalam Kabupaten Maluku Tenggara Barat—pemekaran dari Maluku Tenggara. Ibukotanya di Saumlaki, yang letaknya ada di pulau terbesar, yaitu Yamdena.
Masyarakat lokal menyebut Tanimbar dengan Tnebar Evav. Sampai kini, pulau ini adalah pulau yang di bawah radar pariwisata Indonesia. Alias, bukan destinasi mainstream yang ramai turis. Karena itu, masih banyak titik-titik indah yang tak terjamah dan menenangkan.
Beruntung, awal 2020, di bulan Februari, tepat sebelum pandemi merebak, aku angkat kakiku, berangkat pula aku ke Tanimbar dan tiba di tanah Tnebar Evav itu. Maluku sesungguhnya punya ikatan erat yang agak sulit di akal bagiku. Aku merasa sungguh hatiku dekat betul pada Maluku, khususnya Ambon—walaupun aku tak lahir ataupun tak punya darah Ambon. Hanya saja, sekali lagi aku ingat pepatah entah siapa yang mengatakan:
“Being a family is determined by true love, not by blood, because love is thicker than blood.”
Menarik waktu sangat ke belakang, aku ingat kakekku pernah bertugas di Ambon dan mengajak nenek tinggal pula di sana. Cukup lama hingga bahasa Ambon bercampur-baur dalam percakapan-percakapan yang kakek-nenek ucapkan. Semua anak kakek bahkan terbiasa memanggil diri sendiri dengan sebutan “beta”—artinya “saya”. Segala hal tentang Maluku rasanya menjadi akrab, tak asing, dekat. Ada aura kenyamanan yang aku rasakan tiap kali nama Ambon atau Maluku disebutkan. Mungkin, ini juga yang membuat akhirnya aku senang datang ke Maluku. Atau, ketika pada 2012, aku bersemangat meriset busana tradisional Ambon—salah duanya Baniang Putih dan Kabaya Dansa—untuk dipelajari.
Maka, ketika Angin Indonesia bersama pendukung utama INPEX Indonesia dan Bank Indonesia Maluku memberi kesempatan untuk menggelar pelatihan tenun dan motivasi untuk mama-mama penenun di Tanimbar, gayung sudah pasti aku sambut. Ini seperti jodoh yang tak dicari-cari tapi tahu-tahu datang sendiri. Tak hanya aku senang berbagi, tapi aku juga sudah kadung sayang pada Maluku.
Di bulan Februari, negeri ini memang panas minta ampun. Tanimbar pun cerah tak ada lawannya. Hanya saja, biar banjir keringat, aku ingat hatiku girang betul selama di sana. Bersyukur karena berkesempatan berbagi di jarak ribuan meter dari Jakarta untuk meneruskan semangat bekerja dan cinta tenun. Bertemu mama-mama yang tak pelit senyum dan tawa apalagi cerita. Berkenalan dengan Tanimbar, mulai dari lanskap hingga budayanya.
Aku berkenalan dengan seorang anak muda pemain tifa; menyaksikan langsung Tari Nabar Illa’a yang ditarikan anak-anak Tanimbar; berkeliling Tanimbar dan melihat perajin kayu beserta karya-karya mereka yang menarik; bertemu mama-mama penenun, seperti Mama Sari, seorang penenun Tanimbar berusia 80 tahun yang masih semangat menciptakan kain tenun Tanimbar Pagi Sore; sampai mengakhiri pelatihan dengan berjoget ria bersama masyarakat Tanimbar yang sampai detik aku menuliskan ini, rasa bahagianya masih terasa.
Tanimbar memang jauh sekali dari Jakarta. Namun, semangat orang-orang di sana untuk berdaya dan berkreasi, tak kalah dengan yang ada di Ibukota. Komitmen untuk melestarikan budaya-budaya negeri pun tak luntur meski zaman sudah modern begini.
Semestinya, koleksi kain tenun mama-mama Tanimbar dijadwalkan dipresentasikan di Plaza Indonesia Fashion Week pada Maret 2020, sekaligus merayakan 30 tahun Plaza Indonesia. Namun, karena Covid-19, acara tersebut ditunda.
Ah, ingin betul beta kembali ke Tanimbar. Beta ingat isak dan sedih mama-mama penenun di hari ketika aku harus kembali ke Jakarta. Perpisahan memang tak pernah nikmat rasanya, tapi yang lebih tak nikmat lagi adalah kenyataan kalau tak tahu kapan kita bisa berjumpa lagi. Semoga pandemi ini berakhir, agar beta bisa kembali ke sana untuk memberikan semangat kepada mereka.